Sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masukan kerap menjadi arena pertarungan antara kepatuhan formal dan pembuktian substansi. Kasus PT HWH menyoroti kompleksitas pengkreditan PPN yang timbul dari Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean (PPN JLN).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan koreksi atas PPN Masukan yang berasal dari penyetoran PPN JLN yang dilakukan sendiri oleh PT HWH. DJP berdalih bahwa PPN JLN tersebut tidak sah untuk dikreditkan karena berbagai alasan, mulai dari keraguan terhadap manfaat ekonomis jasa (benefit test) hingga ketidaksempurnaan formalitas penyetoran Pajak.
PT HWH bersikeras bahwa mereka berhak mengkreditkan PPN JLN tersebut. PPN telah disetor dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang sah dan tepat waktu, sehingga syarat formal pengkreditan PPN JLN telah terpenuhi. Secara material, PT HWH menyajikan bukti dokumentasi berupa kontrak, invoice dari pihak luar negeri, dan laporan internal yang membuktikan bahwa jasa tersebut benar-benar ada dan bermanfaat langsung untuk kegiatan operasional perusahaan yang menghasilkan PPN Keluaran.
Majelis Hakim meninjau secara mendalam dokumen SSP, bukti pembayaran PPN JLN, dan analisis fungsional Wajib Pajak. Majelis berpendapat bahwa selama PT HWH mampu menyajikan bukti setoran PPN JLN yang valid dan membuktikan bahwa jasa yang dimanfaatkan memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha, maka hak pengkreditan tidak dapat dibatalkan hanya berdasarkan keraguan DJP.
Dalam putusan yang menghasilkan Kabul Sebagian ini, Majelis mengabulkan pembatalan koreksi PPN Masukan PPN JLN yang dibuktikan oleh PT HWH. Keputusan ini memperkuat yurisprudensi bahwa formalitas penyetoran PPN JLN (SSP) yang valid, ditambah dengan pembuktian substansi manfaat jasa, adalah kunci untuk mempertahankan hak pengkreditan PPN Masukan.
Analisa Lengkap dan Komprehensif atas Sengketa Ini Tersedia di sini